• Cegah IUU Fishing dan Pelanggaran HAM, Kemenko Bidang Marves Bersama FIHRRST Gelar ASEAF-SCF di Bali

    FORUM Keadilan Bali – Menangani kegiatan perikanan yang melanggar hukum atau ilegal, Unreported and Unregulated (IUU) fishing, Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi bersama Foundation for International Human Rights Reporting Standards (FIHRRST) menggelar seminar Annual Southeast Asia Forum on Sustainable Capture Fisheries (ASEAF-SCF) di Hotel Niko, Tanjung Benoa, Badung, Bali tanggal 22 – 23 Juni 2022.

    Tema yang diusung dalam acara tesebut ”Leveraging Southeast Asia Business Competitiveness through Combating IUU Fishing and Protecting Human Rights in Fisheries”. Forum ini menjadi platform bagi pemerintah, perusahaan perikanan tangkap, organisasi masyarakat, dan akademisi bertukar informasi dan merumuskan rekomendasi kebijakan terkait langkah-langkah peningkatan daya saing produk perikanan tangkap di Asia Tenggara.

    Dalam konferensi pers ada empat pembicara yakni Basilio Dias Arujo, Deputi Bidang Koordinasi Kedaulatan Maritim dan Energi Kemenko Marves, Ibu Dina Prapta Raharja selaku Senior Advisor/Perwakilan Tetap Indonesia ke ASEAN; Dr. Mas Achmad Santosa, CEO Indonesia Ocean Justice Initiative dan Duta Besar Derry Aman, Ambasador/Perwakilan Tetap Indonesia ke ASEAN.  

    Acara dibuka dengan sambutan dari Direktur Jenderal Perikanan Tangkap, Kementerian Kelautan dan Perikanan, Ir. Muhammad Zaini; Deputi Bidang Koordinasi Sumber Daya Maritim, Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi, Jodi Mahardi, dan Marzuki Darusman selaku Ketua FIHRRST (Foundation For International Human Rights Reporting Standards).

    Forum digelar selama dua hari ini, pembicara dari berbagai negara dan latar belakang profesi mendiskusikan berbagai topik mulai dari kondisi dan tren perikanan berkelanjutan di Asia Tenggara sampai masalah yang dihadapi industri perikanan kecil.

    Diskusi hari pertama diawali dengan sesi pleno tingkat tinggi dipimpin Prof. Dr Ir. Dwisuryo Indroyono Soesilo, M.Sc. dihadiri perwakilan dari beberapa negara ASEAN. Sesi ini membahas upaya-upaya yang sudah dilakukan negara-negara di ASEAN untuk mencegah IUU fishing dan pelanggaran HAM di industri perikanan. Selanjutnya Prof. Dr. Ir. Dwisuryo Indroyono Soesilo, M.Sc. memulai sesi dengan pemaparan kekayaan laut di Asia Tenggara beserta tantangan yang dihadapi.

    ”Asia Tenggara adalah regional dengan keragaman laut terbesar di dunia sekitar 1.600 spesies ikan. Namun tantangan yang dihadapi oleh negara-negara di Asia Tenggara yakni perikanan ilegal, perdagangan barang dan jasa ilegal, dan kejahatan lintas nasional,” paparnya.

    Negara-negara di Asia Tenggara imbuhnya, perlu bersama-sama merespon tantangan ini dengan mengimplementasi hukum dan kerja sama internasional dan regional seperti latihan militer gabungan (Joint Maritime Exercises) dan patroli gabungan (Joint Maritime Coordinated Patrols).

    Merespon tantangan tersebut, Wakil Direktur Jenderal Perikanan, Kementerian Pertanian, Kehutanan, dan Perikanan Kamboja, Ing Try, memaparkan langkah-langkah yang sudah dilakukan Kamboja. ”Dengan bantuan Uni Eropa, Kamboja saat ini sedang membentuk hukum baru yang diharapkan selesai tahun 2023. Hukum ini akan mengatur tentang kapasitas perikanan, implementasi Port State Measures, dan kampanye manajemen budidaya perikanan berkelanjutan. Implementasi Port State Measure Agreement (PSMA) menjadi prioritas tahun 2022,” jelasnya.

    Forum dilanjutkan dengan dua sesi diskusi masing-masing dimoderasi oleh Bahtiar Manurung, Direktur Operasional FIHRRST, dan Assoc. Prof. Dinna Prapto Raharja, Ph.D., Penasihat Kebijakan Senior FIHRRST. Panel pertama mendiskusikan isu uji tuntas hak asasi manusia dalam mencegah pelanggaran HAM di industri perikanan.

    Lebih jauh lagi, panelis membahas tentang tren kenaikan permintaan dari konsumen terhadap produk perikanan yang berkelanjutan serta investor mulai memprioritaskan investasi ke perusahaan yang mempunyai indeks ESG atau lingkungan, sosial, dan tata kelola yang bagus.

    Diskusi dilanjutkan dengan langkah-langkah efektif yang dapat dilaksanakan oleh perusahaan perikanan untuk menjalankan uji tuntas hak asasi manusia.

    Bahtiar Manurung selaku moderator pertama menjelaskan mengapa uji tuntas hak asasi manusia menjadi penting saat ini. ”Dalam satu dekade terakhir, terdapat tren peningkatan permintaan terhadap produk perikanan berkelanjutan dan tidak melanggar hak asasi manusia. Konsumen dari Inggris dan Denmark, misalnya mau membayar lebih untuk produk perikanan yang tersertifikasi. Tak hanya dari konsumen, investor juga sudah mempertimangkan aspek lingkungan, sosial (termasuk hak azasi manusia), dan tata kelola (ESG) dalam berinvestasi,” jelasnya.

    Anita Dorett, narasumber dari Investor Alliance for Human Rights, mengafirmasi trend yang disampaikan moderator. ”Investor saat ini melihat aspek ESG sebuah perusahaan, kerangka internasional (international frameworks), benchmark data on human rights performance, dan trade bans dalam berinvestasi,” ujar Anita.

    Kevin Lehmann, Business and Human Rights Analyst UNDP Asia Pacific, mengatakan, peraturan mandatory human rights due diligence seperti EU Proposed Directive on Corporate Sustainability Due Diligence akan memiliki dampak pada industri perikanan di Asia Tenggara mengingat peraturan tersebut mengharuskan uji tuntas HAM oleh perusahaan Eropa harus mencakup rantai pasokan. ”Negara-negara Asia Tenggara harus mengantisipasi perkembangan peraturan ini,’’ pintanya.

    Forum dilanjutkan dengan sesi kedua menganalisis kelebihan dan kekurangan dalam kesepakatan kerja sama regional untuk menyelesaikan IUU fishing dan pelanggaran hak asasi manusia di industri perikanan,” tambah Kevin.

    Selain itu, panelis juga membahas solusi untuk mengatasi tantangan dan kekurangan dalam kerjasama regional ASEAN. Assoc. Prof. Dinna Prapto Raharja, Ph.D. memulai sesi dengan pengenalan narasumber kepada audiens. Selanjutnya, Prof. Dinna mempersilakan narasumber memaparkan materi tentang usaha dan tantangan dalam implementasi kerja sama regional oleh negara-negara ASEAN.

    Sementara Matheus Eko Rudianto, Principal Fisheries Inspector dan Vice Executive Secretary, Regional Plan of Action to Promote Responsible Fishing Practices including Combating IUU  Fishing in the Region (RPOA-IUU) Secretariat menjelaskan, tantangan utama dalam implementasi RPOA-IUU. “Kurangnya berbagi informasi dan kapasitas dalam mengatasi praktik perikanan ilegal, tidak diatur, dan tidak dilaporkan (IUU fishing) serta pelanggaran hak asasi manusia,” tandas Matheus.