
Kaum Muda dan Hati Nurani Mahkamah Konstitusi
Kaum Muda dan Hati Nurani Mahkamah Konstitusi
FORUM Keadilan Bali – Terbitnya putusan MK No. 90/PUU-XXI/2023 mengenai syarat usia minimal capres dan cawapres, sekarang Pasal 169 huruf q UU No.7 tahun 2017 memiliki pemaknaan baru. Jika sebelumnya hanya dimaknai an sich, berusia paling rendah 40 tahun berubah menjadi, berusia paling rendah 40 tahun atau pernah/sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilihan umum termasuk pemilihan kepala daerah.
Perubahan ini secara garis besar dapat berpengaruh tiga hal. Pertama, memengaruhi peta konsolidasi politik menjelang pencalonan pasangan calon presiden dan wakil presiden. Kedua, otomatis mempengaruhi materi muatan PKPU No. 19 Tahun 2023, yang terlanjur terbit mendahului, sehingga wajib dilakukan revisi. Ketiga, terhadap pemohon sendiri. Dalam tulisan ini, saya hanya melihat sisi pengaruhnya terhadap pemohon.
Sebagai sesama aktivis mahasiswa, saya menaruh takjub kepada saudara Almas Tsaqibbirru, atas keberaniannya selaku pemohon pengujian Pasal 169 huruf q tersebut dan berhasil mengambil hati mayoritas hakim mahkamah konstitusi.
Patut diakui, pengujian konstitusional yang dilakukan terhadap pasal 169 huruf q tersebut sebenarnya ada di level mission impossible. Setidaknya tercermin dari pandangan sebagian besar ahli hukum dan ahli politik yang menilai bahwa kasus ini bukan ranah kewenangan MK. Tapi ada dalam ranah legal policy pembentuk undang-undang (legislatif).
Di sela-sela rasa takjub, saya segera menyadari akhir dramatis dari ide pemohon dan seluruh kaum pemuda yang menjadi argumen perjuangannya. Ada harga yang harus dibayar oleh pemohon dan kaum pemuda dari putusan MK ini. Sehingga putusan MK tersebut hanya menyuguhkkan delusi kemenangan bagi kaum pemuda di langgam politik.
Ketika Mahkamah Konstitusi memutus konstitusionalitas, putusan tersebut tentu bermakna konstitusi. Sehingga putusan MK tidak bisa diubah atau dikesampingkan dengan undang-undang. Syarat minimal 40 tahun pencalonan presiden (capres) dan wakil presiden (cawapres) akhirnya terkesan ditarik menjadi syarat yang fix atau tetap.
Kedepan, legislatif akan kehilangan kekuasaan atau setidaknya ragu melakukan perubahan. Konsekuensinya, ide pemohon dan kaum pemuda yang diperjuangkan akhirnya harus menunggu usia 40 tahun. Padahal Pemilu 2004, berdasarkan Pasal 6 huruf q UU No. 23 tahun 2003, syarat menjadi capres dan cawapres pernah diatur minimal 35 tahun. Terbitnya putusan MK ini, kedinamisan pengaturan pasal terkait akan mengalami hambatan dalam kurun waktu panjang kedepan.
Jika dicermati putusan MK tersebut, hanya ada dua faktor yang relevan sebagai faktor yang memotivasi pemohon untuk mengajukan permohonan. Pertama, motivasinya sebagai pemuda untuk memperjuangkan kepemimpinan pemuda. Kedua, cita-citanya menjadi presiden.
Dengan dua motivasi itu, seharusnya jelas tergambarkan bahwa pemohon sebenarnya memandang Pasal 169 huruf q UU No.7 tahun 2017 sebagai sebuah barrier yang menghalangi kepemimpinan pemuda. Dengan demikian, harus dimaknai menghalangi cita-cita pemohon sendiri untuk menjadi capres atau cawapres. Bukan orang lain. Motivasi tersebut paling relevan dianggap terhubung dengan hak-hak konstitusional pemohon mestinya menjadi pegangan MK tatkala menetapkan legal standing pemohon.
Walaupun unik, pemohon malah mengajukan makna alternatif terhadap pasal 169 huruf q dengan penambahan frasa, atau berpengalaman sebagai kepala daerah, baik di tingkat provinsi maupun kabupaten/kota”. Usulan tersebut jelas-jelas kontradiktif dengan dua motivasi pemohon sendiri. Seharusnya tidak relevan dipertimbangkan oleh hakim dengan begitu antusias.
Menjauhnya motivasi pemohon, memang jamak terjadi dalam perkara pengujian UU di MK. Mengingat adanya masukan dan tanggapan Mahkamah terhadap permohonan pada pemerikasaan pendahuluan yang dilakukan panel hakim. Fakta lain perlu diketahui, bahwa pemohon sempat mengajukan surat pencabutan permohonan, tertanggal 26 September 2023. Walaupun permintaan pencabutan tersebut diurungkan setelah MK menggelar pemeriksaan pendahuluan kembali pada 3 Oktober 2023. Saya sendiri tidak jelas mengetahui, apakah usulan penambahan makna alternatif pada Pasal 169 ayat q yang dimohonkan memang sejak awal diajukan pemohon. Malah baru muncul selama proses penyempurnaan permohonan paska pemeriksaan pendahuluan. Pastinya, kita sama-sama saksikan Mahkamah Konstitusi nampak berhasrat dan antusias menguji konstitusionalitas usulan alternatif tersebut. Bahkan menariknya lagi, bahwa konstitusionalitas usulan alternatif tersebut pula yang cenderung membangun pertimbangan hukum Mahkamah untuk menyatakan inkonstitusionalitas bersyarat Pasal 169 huruf q yang diuji. Tiwikrama Dharma Paripurna.
Sejalan dengan orientasi MK penuh hasrat dan antusias itu, pertimbangan hukum MK menjadi lebih fokus pada hal yang sebenarnya tidak mengarah pada motivasi pemohon yang relevan. Terlebih mengabulkan permohonan jelas-jelas Mahkamah paham hal itu tidak signifikan dengan maksud memotivasi pemohon sebagai pemilik hak untuk dipilih dan bahkan untuk memilih.
Dalam konteks hak untuk dipilih, putusan MK tersebut menjadi tidak berhubungan langsung dengan legal standing pemohon. Kkarena pemohon bukanlah seseorang yang memegang jabatan yang dipilih langsung oleh rakyat (elected official) yang dimaksud oleh MK dalam putusannya. Sehingga hak untuk dipilih dimiliki pemohon sebagai hak konstitusional sebenarnya tidak terjawab oleh putusan MK ini. Dalam putusannya, MK terkesan mendudukkan pemohon justru bukan sebagai diri pemohon sendiri, melainkan membayangkan orang lain yang pernah atau sedang menjabat jabatan yang dipilih melalui pemilu atau pilkada (elected official).
Dalam konteks hak untuk memilih calon Presiden dan Wakil Presiden, putusan MK terkesan mempertimbangkan hal-hal yang sifatnya ilustratif. Karena pemohon mempunyai anggapan bahwa Walikota Solo adalah gambaran ideal seorang Presiden atau Wakil Presiden muda, bukan berarti secara faktual Walikota Solo yang berkehendak atau pasti mencalonkan diri. Apalagi MK menyadari adanya Pasal 6A ayat (2) UUD 1945. Paling rasional mengajukan permohonan demikian adalah parpol, atau paling tidak Walikota Solo, bukan pemohon dalam konteksnya sebagai pemilih. Tindakan tersebut seolah putusan MK dapat didasarkan sebuah fiksi ilmiah. Hal itu menjauhkan putusan dari hubungannya dengan motivasi Pemohon dan utilitas hak kontitusionalnya yang nyata. I Putu Sindhu Andredhita, S.I.P., (Sekretaris Yayasan Tiwikrama Dharma Paripurna)