Masyarakat Khawatir Dampak Perubahan Iklim di Bali

Masyarakat Khawatir Dampak Perubahan Iklim di Bali
📷: NARASUMBER - Dr. Rodney Westerlaken, M.A., M.Ed., M.Si, Pendiri Yayasan Westerlaken Alliance Indonesia menjadi narasumber dalam Seminar Internasional dengan tema ’’Harvesting Resilience: Navigating Food Security Challenges in a Changing Climate” diselenggarakan serangkaian HUT Badan Kekeluargaan (BK) Fakultas Pertanian, Universitas Warmadewa di Denpasar, Jumat (5/7).

Masyarakat Khawatir Dampak Perubahan Iklim di Bali

FORUMKEADILANBali.com – Masyarakat Bali mengalami kekhawatiran yang tinggi terhadap dampak perubahan iklim akan ketahanan pangan dan kesediaan air.

Hal tersebut disampaikan Dr. Rodney Westerlaken, M.A., M.Ed., M.Si, Pendiri Yayasan Westerlaken Alliance Indonesia saat menjadi narasumber dalam Seminar Internasional dengan tema ’’Harvesting Resilience: Navigating Food Security Challenges in a Changing Climate” diselenggarakan serangkaian HUT Badan Kekeluargaan (BK) Fakultas Pertanian, Universitas Warmadewa di Denpasar, Jumat (5/7).

Westerlaken mengutip data Inisiatif Matangi Bali tentang perubahan ikim di Bali sejak Oktober 2023 – Januari 2024 mendapatkan fakta 97,5% responden mengungkapkan kecemasan tinggi terhadap perubahan iklim, 53% mengkhawatirkan dampak kesehatan dan 47% mengkhawatirkan ketersediaan makanan dan air.

”Dampak lokal terasa, menurunnya aliran sungai di Tigawasa, Buleleng, meningkatnya banjir sejak tahun 2010 di Jembrana, Ubud, Renon. Naiknya permukaan air laut di Kabupaten Klungkung,” kata Westerlaken.

Menurutnya, kekeringan mungkin kekhawatiran terbesar di antara semua bencana yang berhubungan dengan cuaca untuk produksi padi. Konversi lahan pertanian ke penggunaan non pertanian diidentifikasi sebagai ancaman besar terhadap produksi padi. Data statistik menunjukkan menyusutnya penggunaan lahan untuk pertanian.

Direktur Pusat Penelitian Fungsi Pangan dan Kesehatan, Universitas Ehima, Jepang, Prof. Takuya Sugahara mengakui perubahan iklim mempengaruhi produksi jeruk di Jepang. Kawasan cocok budidaya jeruk rata-rata memiliki suhu antara 15 hingga 18 derajat celcius. Namun, kedepan wilayah bersuhu tinggi tidak cocok bercocok tanam diperkirakan akan semakin meluas.

Baca Juga :  Pj. Gubernur Bali Kukuhkan Kepala Perwakilan BPKP Provinsi Bali

Takuya menjelaskan tantanganya saat ini produksi limbah kulit jeruk cukup besar dihasilkan dari pabrik jus. Pemanfaatannya mesti dilakukan sebagai upaya mengurangi emisi dari limbah yang dihasilkan. ”Kulit jeruk mengandung berbagai bahan yang bermanfaat bagi kesehatan, dan pemanfaatan kulit jeruk secara efektif tidak hanya mengurangi emisi limbah. Namun mengarah pada pengembangan pangan fungsional,” terangnya.

Prof. B. Ravindran, PhD., dari Departemen Energi & Teknik Lingkungan Universitas Kyanggi, Korea Selatan menyampaikan upaya mitigasi emisi gas rumah kaca menyebabkan perubahan iklim wajib dilakukan mendukung pertumbuhan tanaman guna mencapai ketahanan pangan. Pengomposan menjadi salah satu alternatif dalam mengurangi limbah dan disisi lain membantu menjaga kesuburan tanah. ”Proses pengomposan dapat diterima secara sosial dan salah satu teknologi paling sesuai pengolahan dan pembuangan limbah. Kompos memperbaiki struktur tanah, menghemat air, mengisi kembali nutrisi yang hilang, dan mendukung mikroorganisme yang bermanfaat,” ungkap Ravindran.

Sementara Wakil Rektor Bidang Kerjasama dan Kemahasiswaan Dr. I Nyoman Sujana, M.Hum., mengatakan perubahan iklim memiliki pengaruh besar di sektor pertanian. Situasi ini dikatakan berpengaruh terhadap ketidaktahanan pangan serta berdampak kepada kesejahteraan petani maupun masyarakat konsumen.

Sujana menambahkan peran pemerintah sangat penting dalam pengambilan keputusan dan penerapan kebijakan membantu pertanian berkelanjutan dapat terwujud. Ia menekankan peran pemerintah dalam pengembangan pertanian, distribusi, serta kesejahteraan masyarakat sangat penting dalam penerapan kebijakan yang berhubungan dengan hal ketahanan pangan ini.

Shares: