FORUMKEADILANBali.com – Komisi I DPRD Provinsi Bali menerima audiensi perwakilan krama Desa Adat Kepet Jimbaran, Kuta Selatan, Badung, Senin 93/2/2025) terkait permasalahan tanah seluas 280 hektar dikuasai sebuah perusahaan dibiarkan telantar selama 30 tahun di Wantilan DPRD Bali.
Ketua Komisi I DPRD Bali, I Nyoman Budi Utama menyampaikan audiensi ini dihadiri lima perwakilan subak mempertanyakan status lahan seluas 280 hektar telah dikuasai perusahaan selama 30 tahun namun tidak dimanfaatkan. Lahan ini seharusnya bisa digunakan untuk kepentingan masyarakat adat, tetapi hingga kini statusnya masih tidak jelas. ”Kami akan menindaklanjuti dan meminta klarifikasi dari pihak terkait,” ujar Budi Utama.
Lahan warisan leluhur yang telah terpendam selama 30 tahun akhirnya menjadi sorotan. Sebanyak 130 warga Desa Adat Jimbaran menggugat kepemilikan tanah mereka yang kini dikuasai sejumlah perusahaan, namun dibiarkan terbengkalai. Dengan penuh tekad, mereka tergabung dalam Kesatuan Penyelamat Tanah Adat (Kepet Adat Jimbaran) mengajukan gugatan hukum dan menyampaikan aspirasi ke DPRD Bali. ”Ini bukan sekadar tanah, ini warisan leluhur kami. Kami menuntut keadilan dan hak kami telah dirampas,” tegas I Wayan Bulat, perwakilan penggugat.
Bulat menegaskan ada penyalahgunaan keputusan pejabat negara menyatakan lahan itu akan digunakan kegiatan multilateral pada 2013. Namun hingga kini pembangunan yang dijanjikan tak pernah terwujud. ”Ini jelas penyalahgunaan wewenang. Lahan ini dijanjikan untuk kepentingan besar, kenyataannya tetap dibiarkan terbengkalai,” tegasnya.
Dia menjeaskan perpanjangan SHGB atas lahan 280 hektar di Jimbaran diduga dipaksakan, meski sebelumnya telah ada Surat Penetapan Indikasi Tanah Terlantar dari BPN. Seharusnya, tanah itu dikembalikan kepada pemilik hak lama, bukan justru diperpanjang untuk kepentingan pihak lain.
Bulat menyatakan warga Desa Adat Jimbaran yang tergabung dalam Kepet Adat Jimbaran menempuh jalur hukum, baik perdata maupun pidana. Mereka didampingi advokat dari Kantor Hukum BKO, dan resmi menggugat sejumlah perusahaan melalui Pengadilan Negeri Denpasar, Senin 3 Februari 2025. ”Kami akan terus memperjuangkan hak masyarakat, baik melalui jalur perdata maupun pidana. Tanah ini milik warga, bukan untuk diperpanjang secara sewenang-wenang,” jelasnya.
Tim kuasa hukum Kesatuan Penyelamat Tanah Adat (Kepet Adat Jimbaran) resmi membawa sengketa lahan ini ke ranah hukum. Dipimpin Koordinator Kuasa Hukum I Nyoman Wirama, S.H., bersama tim terdiri dari I Wayan Adi Aryanta, S.E., S.H., M.H., I Ketut Sukardiyasa, S.H., Dr. I Wayan Majuarsa, S.H., S.Sos., M.M., dan I Made Widiasa, S.H., memastikan perjuangan masyarakat akan mendapat kepastian hukum.
Wirama menjelaskan sidang perdana kasus ini telah resmi digelar berdasarkan Nomor Perkara 142/Pdt.G/2025/PN Dps, menjadi langkah awal dalam memperjuangkan hak atas tanah adat yang telah lama dipertaruhkan.
Dia mengungkapkan perjuangan Kepet Adat Jimbaran mewakili lima kelompok masyarakat Desa Adat Jimbaran yang terdampak sengketa lahan. Kelompok tersebut terdiri dari penyakap, warga yang memiliki surat pengelaga dari Desa Adat Jimbaran, waris penyakap, ahli waris penyakap tanah ayahan, pemilik lama, masyarakat yang memiliki hak lama atas tanah sengketa, krama desa dat, anggota Desa Adat Jimbaran dan sekitarnya yang berkepentingan, serta krama subak, petani tradisional tergabung dalam Subak Abian di lokasi sengketa. ”Subak Abian bagian dari masyarakat hukum adat di Bali diakui dan dilindungi konstitusi. Hak-hak mereka harus dihormati,” jelasnya.
Dalam gugatan ini, kata dia, lima perwakilan kelompok dari Kepet Adat Jimbaran resmi menggugat sejumlah perusahaan yang diduga menguasai lahan secara melawan hukum. PT Jimbaran Hijau berkedudukan di Perkantoran Griya Jimbaran Hub, Jimbaran, ditetapkan sebagai tergugat I. Sementara PT Citratama Selaras berlokasi di Jalan Hayam Wuruk, Denpasar ditetapkan sebagai tergugat II. ”Gugatan ini bentuk perjuangan masyarakat untuk mendapatkan kembali hak atas tanah mereka yang telah dikuasai tanpa kejelasan hukum,” tegasnya.
Tak hanya dua perusahaan, ucap Wirama, gugatan Kepet Adat Jimbaran juga menyasar instansi pemerintah dan perusahaan lainnya. Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional (BPN) Provinsi Bali berlokasi di Renon, Denpasar ditetapkan sebagai tergugat III. Selain itu, PT Baruna Realty (Greenwoods Group) berbasis di Jakarta Selatan masuk sebagai tergugat IV. Sementara Kantor Pertanahan Kabupaten Badung, berlokasi di Seminyak ditetapkan sebagai tergugat. ”Kami menggugat tidak hanya perusahaan, tetapi instansi yang bertanggung jawab atas pengelolaan lahan ini. Semua pihak yang terlibat harus bertanggung jawab,” ungkapnya.
Wirama menerangkan gugatan Kepet Adat Jimbaran berakar dari peristiwa tahun 1994, ketika pemerintah membebaskan lahan dengan dalih kepentingan umum. Namun, prosesnya dilakukan represif dengan kekerasan, dan melibatkan aparatur negara. Ironisnya, lahan seharusnya digunakan untuk kepentingan umum justru dimanfaatkan kepentingan bisnis pribadi. Lebih mencengangkan lagi, tanah milik warga yang dibebaskan malah diterbitkan sejumlah Sertifikat Hak Guna Bangunan (SHGB), di antaranya SHGB 370, 371, 372, 188, 190, 192, 193, 189, 1069, 386, 4138, dan 4137/Jimbaran. ”Pembebasan lahan ini penuh kejanggalan. Awalnya disebut untuk kepentingan umum, kenyataannya justru menjadi lahan bisnis pribadi. Ini bentuk ketidakadilan yang harus dilawan,” beber Wirama.
Selain SHGB telah teridentifikasi, lanjut dia, diduga masih ada SHGB lain diterbitkan, namun belum berhasil ditelusuri penggugat. Kemungkinan besar SHGB tersebut telah mengalami pecahan atau turunan. Diketahui SHGB tersebut diterbitkan atas nama PT Citratama Selaras, yang kini ditetapkan sebagai tergugat II dalam gugatan ini. ”Kami menduga masih ada banyak SHGB lain belum terungkap. Ini harus diusut tuntas agar hak masyarakat atas tanah adat tidak semakin tergerus,” imbuhnya.
Wirama memaparkan penerbitan SHGB tersebut diduga melibatkan Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional Provinsi Bali (tergugat III) menyetujui penerbitan SHGB berdasarkan pelepasan hak dari desa adat dan kelurahan. Padahal, para penggugat telah menguasai lahan itu turun-temurun dengan itikad baik selama puluhan tahun, sehingga tanah tersebut menjadi hak mereka, bukan hak desa adat maupun kelurahan.
Lebih lanjut diktakan setelah SHGB diterbitkan, tergugat II (PT Citratama Selaras) mengalihkan penguasaan yuridis lahan tersebut kepada tergugat I PT Jimbaran Hijau. ”Lahan ini telah dikuasai warga secara turun-temurun, justru dialihkan tanpa hak jelas. Ini bentuk ketidakadilan yang harus diperjuangkan,” paparnya.
Berdasarkan SHGB dengan total luas 280 hektar, lahan ini diperpanjang menggunakan Surat Keputusan Presiden dan SK Menteri Pariwisata untuk kepentingan KTT APEC 2013. Sebelum perpanjangan itu, BPN telah menetapkan sebagian besar lahan sebagai tanah terlantar. Ironisnya, meski SHGB diperpanjang untuk sarana prasarana KTT APEC, hingga kini sebagian besar lahan tersebut masih kosong dan tidak digunakan sebagaimana mestinya. Bahkan, PT Jimbaran Hijau (tergugat I) justru bekerja sama dengan PT Baruna Realty (tergugat IV) untuk pengelolaan dan penjualan perumahan, semakin memperkuat dugaan bahwa perpanjangan SHGB hanya kedok untuk kepentingan bisnis. (fkb)