FORUM Keadilan Bali – Sekretaris Daerah (sekda) Provinsi Bali mengapresiasi dan mendukung langkah intelektual ditempuh pelaku usaha Spa & Wellness menyikapi pemberlakuan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 Tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah (HKP3D). Langkah intelektual itu lewat pelaksanaan seminar nasional mengusung tema ”Implementasi Undang-Undang No 1 Tahun 2022 Dampak bagi Pelaku Usaha Spa” di The Royal Pita Maha Ubud, Rabu (31/1).
Sekda Dewa Indra mengungkapkan polemik mengemuka terkait pemberlakuan UU HKP3D, Pemprov Bali mengambil posisi mencermati dan membaca aspirasi serta wacana yang berkembang di ruang publik. ”Mencermati wacana yang berkembang, kami merumuskan dua isu. Pertama, penempatan Spa pada kelompok jasa hiburan tertentu dinilai tidak tepat dengan segenap argumen dan historisnya. Kedua, pengenaan tarif pajak terlalu tinggi yaitu pada kisaran 405 % – 75 %,” ujarnya.
Menyikapi dua hal tersebut, kata Sekda Dewa Indra, Pemprov Bali dan industri pariwisata menempuh jalan berbeda sesuai ranah masing-masing. Sesuai ranah bisa ditempuh, Pemprov Bali telah melakukan langkah strategis melalui pertemuan bersama dengan pemerintah kabupaten/kota melibatkan stakeholder pariwisata, Jumat (26/1). ”Kami duduk bersama untuk menyelesaikan persoalan dalam koridor dan jalur regulasi. Kami melihat ada ruang dalam UU tersebut mengakomodir aspirasi daerah yaitu Pasal 101. Selain itu juga ada PP 35 Tahun 2023,” terangnya.
Berdasarkan regulasi tersebut, mnurutnya, seluruh pemerintah kabupaten/kota yang hadir pada pertemuan sepakat tidak memberlakukan pengenaan pajak 40% – 75% persen. ”Pemerintah kabupaten/kota bersepakat menggunakan instrumen kebijakan pemberian insentif fiskal. Mengenai besarannya, kita berikan kesempatan kepada kabupaten/kota mengaturnya. Ini sesuai semangat otonomi daerah,” katanya.
Sejalan dengan upaya yang ditempuh pemerintah, Sekda Dewa Indra menghormati langkah ditempuh pelaku usaha yaitu melalui jalur hukum yaitu mengajukan judicial review dan langkah intelektual membahas polemik pada forum seminar. ”Seminar ini merupakan jalur intelektual. Silahkan mengemukakan fakta sesuai dengan penalaran masing-masing. Rundingkan hal-hal yang dapat menguatkan upaya judicial review. Ini merupakan jalan terhormat yang patut diapresiasi,” paparnya.
Sekda Dewa Indra berharap perjuangan ini menghasilkan sesuatu bermanfaat bagi kemajuan usaha Spa yang sangat mendukung sektor pariwisata.
Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif RI Sandiaga Salahuddin Uno sebagai pembicara kunci dalam kegiatan tersebut memastikan bahwa pemerintah hadir untuk mendengar dan merespon tuntutan dan harapan para pelaku usaha Spa. Menurutnya, sejumlah kementerian terkait telah turun tangan menyikapi polemik ini.
Dia mngngkapkan implementasi UU HKP3D menjadi polemik karena Spa masuk kelompok jasa hiburan tertentu yang kemudian dikenakan pajak 40% – 75%. Padahal mengacu pada Permenparekraf Nomor 4 Tahun 2021, Spa masuk kategori wellness tourism.
Menurut Sandiaga Uno, Kemenkes RI juga memasukkan Spa dalam kategori industri kesehatan. Ia berharap pelaku usaha Spa jangan khawatir karena pemerintah sudah mengambil langkah dalam menyikapi polemik ini. ”Bapak Presiden telah mengeluarkan edaran agar pengenaan pajak jangan membebani industri pariwisata yang baru pulih,” cetusnya.
Sementara itu, Ketua PHRI BPD Provinsi Bali Prof. Tjok Oka Sukawati dalam paparannya menyinggung cikal bakal berkembangnya usaha Spa & Wellness di Pulau Dewata tak bisa dipisahkan dari keberadaan Hotel The Royal Pitamaha Ubud. Di tengah makin berkembangnya usaha Spa, tiba-tiba sektor yang lekat dengan pariwisata ini dikejutkan dengan pemberlakuan UU HKP3D.
Menurutnya, dalam UU Nomor 10 Tahun 2009 tentang Pariwisata, Spa tidak masuk kategori hiburan. ”Spa masuk kategori usaha perawatan, tak ada satu kata pun yang menyebut hiburan. Untuk pengurusan izin, kode untuk Spa adalah jasa kesehatan dan perawatan modern holistik,” jelasnya.
Lebih dari itu, kata Cok Ace, fakta empiris menunjukkan kalau makin banyak lembaga pendidikan yang menawarkan program Spa. ”Ini menandakan kalau Spa jauh dari kategori hiburan,” tandasnya.
Ia berharap langkah judicial review yang ditempuh pelaku usaha Spa segera membuahkan hasil. Ini menyampaikan terima kasih kepada pemerintah pusat dan daerah yang merespon aspirasi pelaku usaha Spa.
Seminar berlangsung sehari menghadirkan pembicara Guru Besar Unud Prof. Dr. Putu Gde Patra Sumertayasa, dan Kepala Divisi Spa & Wellness Mustika Ratu Dian V Soeryomurti. Seminar digelar secara hybrid melibatkan pelaku usaha Spa & Wellness dari Bali, Yogyakarta, Lombok dan sejumlah daerah. Hasil seminar ini akan menjadi bagian dari penguatan proses judicial review yang tengah ditempuh pelaku usaha Spa & Wellness.