FORUM Keadilan Bali – Wakil Gubernur Bali Tjokorda Oka Artha Ardhana Sukawati (Cok Ace) menerima kunjungan Sekretaris Negara (Setneg) dan Utusan Khusus untuk Aksi Iklim Internasional Republik Federal Jerman, membahas kerjasama bilateral tentang perlindungan iklim nasional, global dan transisi energy, di Intercontinental Hotel-Sanur, Kamis (7/7).
Dalam kesempatan tersebut, Duta Besar Jerman Ina Lepel secara singkat membuka dialog dengan membahas bagaimana komitmen Bali terhadap mitigasi perubahan iklim, khususnya transisi energi baru dan terbarukan atau (EBT).
Menanggapi hal itu, Wagub Cok Ace mengatakan, perkembangan pembangunan di Bali khususnya di bidang pariwisata membawa dampak sangat penting terhadap kelangsungan dan kelestarian lingkungan hidup di Provinsi Bali. Masalah lingkungan khususnya isu pencemaran lingkungan disebabkan oleh sampah, limbah cair, pencemaran sungai, danau, laut, serta pencemaran udara mengakibatkan kualitas lingkungan hidup semakin menurun. Pemerintah Provinsi Bali memiliki visi “Nangun Sat Kerthi Loka Bali” melalui Pola Pembangunan Semesta Berencana menuju Bali Era Baru dilaksanakan secara terpola, menyeluruh, terencana, terarah, dan terintegrasi, perlu keterlibatan langsung dan peran aktif pemerintah, swasta, dan masyarakat. Diharapkan menjadi momentum sebagai bentuk kepedulian terhadap pelestarian lingkungan.
Cok Ace menjelaskan, Sad Kertih merupakan nilai-nilai kearifan lokal Bali mengatur tata cara kehidupan yang mengait dan menyatu dengan alam secara sakala-niskala. Sad Kertih adalah 6 sumber kesejahteraan/kebahagiaan kehidupan manusia/krama Bali terdiri dari Atma Kertih (penyucian jiwa), Segara Kertih (penyucian laut), Danu Kertih (penyucian sumber air), Wana Kertih (penyucian tumbuh-tumbuhan), Jana Kertih (penyucian manusia), dan Jagat Kertih (penyucian alam semesta beserta isinya).
Lebih lanjut Wagub Cok Ace menyampaikan, perubahan Iklim merupakan isu penting yang harus disadari oleh masyarakat di seluruh dunia. Penyebab utama perubahan iklim berasal dari aktivitas manusia terutama hasil pembakaran bahan bakar fosil serta peningkatan konsentrasi gas rumah kaca di atmosfer diantaranya karbondioksida (CO2), metana (CH4), dan dinitrogen oksida (N2O). Berbagai dampak yang ditimbulkan akibat perubahan iklim diantaranya. Peningkatan suhu bumi mengakibatkan naiknya permukaan air laut, cuaca ekstrem, terjadinya banjir dan bencana alam, kebakaran hutan, meningkatnya wabah penyakit, dan dampak lingkungan lainnya.
Upaya mitigasi perubahan iklim, lanjut Wagub Cok Ace, perlu dilakukan langkah-langkah strategis pengurangan emisi gas rumah kaca. Salah satunya meminimalisir dan menghentikan penggunaan bahan bakar fosil. ”Sudah saatnya kita beralih menggunakan sumber Energi Baru Terbarukan (EBT) untuk menjaga kelangsungan hidup manusia dan makhluk hidup lainnya,’’ kata Wagub Cok Ace.
Sebagai bagian dari tindak lanjut Paris Agreement tahun 2015, Indonesia telah berkomitmen dalam penurunan emisi gas rumah kaca melalui penyampaian dokumen First Nationally Determined Contributions (NDC). Komitmen tersebut telah diperbarui melalui penyampaian dokumen Updated NDC (UNDC) dibarengi dengan dokumen Long-Term Strategy: Low Carbon and Climate Resilience 2050 (LTS-LCCR 2050). lndonesia menetapkan target penurunan emisi gas rumah kaca sebesar 29% dengan upaya sendiri dan hingga 41% dengan dukungan internasional dibandingkan skenario business as usual (BAU) untuk mencapai pembangunan rendah karbon dan berketahanan iklim.
Transformasi menuju energi ramah lingkungan, kata Wagub Cok Ace, Pemerintah Provinsi Bali telah menerbitkan Peraturan Gubernur Bali Nomor 45 Tahun 2019 tentang Bali Energi Bersih dalam mewujudkan energi Bali yang ramah lingkungan. Salah satunya pemanfaatan Energi Baru Terbarukan (EBT).
Menanggapi hal itu, Dubes Jerman mengapresiasi telah dilakukan oleh Bali baik dari segi penguatan aturan maupun implementasinya ke masyarakat. Selain itu, Dubes Jerman mengatakan bahwa pihaknya sangat mendukung upaya reforestasi mangrove. Jerman telah berdiskusi secara intens dengan KLHK untuk menyiapkan program untuk mendukung pelestarian mangrove dan beberapa isu lingkungan lainnya yang krusial, yakni tata kelola sampah. Jerman sebagai ketua G7 akan membawa narasi ini nantinya pada pertemuan G20 sehingga ini bisa menjadi momentum baik bagi Indonesia untuk memiliki program pelestarian lingkungan dan transisi EBT yang berkelanjutan. Selain itu, Jerman membangun kemitraan dengan beragam pihak non-negara, seperti pusat penelitian, universitas, dan komunitas. Alasannya, upaya dekarbonisasi haruslah berorientasi pada masyarakat agar menjadi langkah yang efisien.
Greenpeace Jerman Bapak Martin Kaiser mengungkapkan kemerdekaan energi hal yang penting. Namun, lebih penting lagi jika bisa bebas dari energi fosil. Ini saat yang tepat beralih ke EBT. Belajar dari pengalaman Jerman dulunya sangat bergantung pada Rusia pemenuhan energi fosil. Kini negara itu sudah beralih ke EBT. ”Model pengembangan transisi energi EBT di Jerman selalu melibatkan masyarakat, terutama untuk proyek energi surya dan bayu. Kuncinya adalah kerjasama dan keterlibatan masyarakat,’’ katanya.
Sementara itu, Deputi Bidang Koordinasi Pengelolaan Lingkungan dan Kehutanan Nani Hendiarti mengungkapkan bahwa perihal transisi EBT menjadi salah satu fokus dalam pertemuan G20 nanti. Indonesia bekerja sama dengan berbagai pihak, termasuk Jerman dan AS untuk transisi EBT dan membangun fasilitas reduksi emisi karbon.
Terkait perbandingan biaya antara EBT dan fosil, ia menjelaskan EBT masih lebih mahal dibanding fosil. Seiring waktu harga satuannya semakin rendah seiring perkembangan teknologi. Di sisi lain, Indonesia menyimpan potensi EBT yang luar biasa, terutama energi solar dan hidro.