FORUM Keadilan Bali – Wakil Gubernur Bali Tjok. Oka Artha Ardhana Sukawati mengajak seluruh masyarakat Bali menjaga kelestarian subak. Pasalnya, keberadaan subak di Pulau Dewata sudah ada sejak zaman dulu.
Hal ini dibuktikan dalam Prasasti Sukawana A1 tahun 882 Masehi, terdapat kata ”huma” yang berarti sawah. Selain itu, Prasasti Bebetin A1 tahun 989 Masehi juga terdapat kata ”Undagi Pengarung” yang berarti tukang pembuat terowongan air.
Hal itu disampaikan wagub bali yang akrab disapa Cok Ace di sela-sela menghadiri ”8th Bali Internasional Field School For Subak 2022”, di Jero Tumbuk, Kecamatan Selat, Karangasem, Jumat (2/9).
Meurut Cok Ace, keaslian sistem organisasi subak sebagai produk budaya asli Bali diperkuat dalam lontar Markandeya Purana yang menyebutkan yang mengurus permasalahan sawah disebut subak, mengurus masalah pembagian air di sawah disebut pakaseh. Kata pakaseh sendiri berasal dari kata pekasih berarti adil. ”Mari kita bersama menjaga sistem pengairan tradisional yang sudah ada sejak dulu digunakan dan memberikan pengairan sawah secara adil dan merata sekaligus penghidupan kepada petani dan seluruh masyarakat di Bali,’’ ujar Cok Ace.
Wagub Cok Ace didampingi Kepala Dinas Pemajuan Masyarakat Adat Provinsi Bali IGAK Kartika Jaya Seputra menjelaskan, eksistensi subak sebagai lembaga tradisional bersifat sosio, agraris dan religius di Bali hingga saat ini tidak terlepas dari adanya keyakinan masyarakat Bali terhadap konsep Tri Hita Karana. Konsep Tri Hita Karana adalah sebuah filosofis harmonisasi hubungan antara manusia dengan Tuhan, hubungan manusia dengan manusia, serta hubungan manusia dengan lingkungan alamnya.
Wagub Cok Ace mengungkapkan, konsep Tri Hita Karana ini menjadikan sawah sebagai tempat yang disucikan, mengingat sawah diyakini sebagai tempat berstananya Dewi Sri (Dewi Kemakmuran). Perlakuan terhadap tanaman padi di sawah dengan berbagai bentuk upacara berlandaskan ajaran agama Hindu dilaksanakan masyarakat sebagai bentuk penghormatan dan persembahan kepada yang berstana di sawah dan bertujuan memperoleh hasil panen yang berlimpah dan berkualitas.
Keberadaan subak di Bali telah mendapatkan pengakuan UNESCO sebagai warisan dunia, merupakan representasi atas upaya yang dilakukan pemerintah bersama masyarakat untuk tetap menjaga kelestarian dan keberlangsungan subak. ”Berbagai upaya telah dilakukan pemerintah, salah satunya diterbitkannya Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 9 Tahun 2012 tentang Subak. Upaya ini menjadikan Bali terkenal dengan berbagai sebutan, salah satunya Bali sebagai Pulau Surga. Hal ini tidak berlebihan masih terjaga keindahan alam Bali serta keluhuran budayanya hingga saat ini jarang ditemukan di daerah lain,” kata Cok Ace menerangkan dihadapan sejumlah delegasi World Planning School Longress dan Asian Planning School Association Longress.
Ketua Panitia Clatrini Pratihari Kubontubuh mengatakan sekolah lapangan subak ini memberikan kesempatan bagi delegasi peserta Bali Internasional Field School For Subak mengetahui langsung tata kelola subak sebagai pengelolaan sistem pengairan secara tradisional. Kegitan ini melibatkan peran teknologi digital dalam pelestarian subak.
Kegiatan ini dihadiri Kepala Dinas Pemajuan Masyarakat Adat Provinsi Bali, Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Karangasem, Badan Perencanaan Penelitian dan Pengembangan Daerah Kabupaten Karangasem, para pakar dari Universitas Udayana, Universitas Dwijendra, ITB, Universitas Solo dan INSTIKI, Indonesia Heritage dan Bali Kuna Santi.