FORUM Keadilan Bali – Guna menyamakan persepsi menyikapi masalah batas wilayah, terutama pembangunan tapal batas Desa Adat Gelogor Carik, Denpasar berada di wilayah administratif Kabupaten Badung dan masuk wilayah Banjar Adat Temacun, Kuta, Sekda Badung I Wayan Adi Arnawa melakukan Rapat Koordinasi dengan Forkopimda Badung dan khusus mengundang Dinas Pemajuan Masyarakat Adat (PMA) Provinsi Bali, di Puspem Badung, Rabu (12/4).
Sekda Adi Arnawa menjelaskan rapat koordinasi mengundang dinas terkait, Forkopimda dan Dinas Pemajuan Desa Adat Provinsi Bali harus segera dilakukan guna menyamakan persepsi terkait permasalahan yang terjadi di lapangan. Selain menghindari terjadi gesekan di bawah. Ia berterima kasih atas kehadiran Kadis PMA Bali telah memberikan pemahaman sehingga dapat dijadikan dasar dalam menyelesaikan masalah ini. ”Kami mengharapkan Dinas PMA Bali segera mungkin dapat memfasilitasi dengan mengundang pihak-pihak terkait duduk bersama memberi pemahaman dan pengertian sehingga permasalahan ini dapat diselesaikan dengan baik,’’ harapnya.
Kadis PMA Bali I Gusti Agung Ketut Kartika Jaya Saputra didampingi Kabid Pemajuan Hukum Adat menjelaskan permasalahan desa adat di Bali cukup banyak. Sejak Pemprov Bali menarik kewenangan desa adat ke Provinsi, kemudian menyusun regulasi Perda Nomor 4 tahun 2019 tentang Desa Adat di Bali, memang Desa Adat seperti ada euforia.
Jaya Saputra menjelaskan dalam Perda Nomor 4, desa adat diberikan kewenangan, tetapi ada batas-batasnya. ”Tapal batas sangat penting semua desa, baik desa dinas, desa adat apalagi pemerintahan. Kalau batas administratif pemerintahan itu sudah jelas ada Permendagri mengatur. Kalau batas-batas wilayah desa adat tidak ada. ”Saya banyak mempelajari awig-awig, hampir semua batas wewidangan desa adat itu adalah alam, saling seluk, beririsan semua. Ada menggunakan bengang dulu, sungai, bukit, taru ageng, sehingga sangat sulit menentukan batas-batas wewidangan desa adat itu,” terangnya.
Jaya Saputra mengutip ada satu keputusan penting dari Majelis Utama Desa Pakraman (MUDP) hasil pesamuan agung pertama tahun 2006, terutama mengenai batas desa adat. Dalam keputusan tersebut disebutkan, setiap Desa Pakraman (sekarang desa adat), diusahakan memiliki batas desa yang jelas. Karena batas Desa Pakraman tidak semata-mata berhubungan dengan sumber pendapatan desa, melainkan berkaitan erat dengan swadarma (kewajiban) dan swadikara (hak) penduduk, krama desa, krama tamiu dan tamiu. Selain itu, batas desa juga penting dalam hubungan dengan masalah kecuntakaan dan kesucian desa pakraman. dilanjutkan, tidak semua desa pakraman dapat dibuatkan batas desa secara jelas. Batas desa yang dapat dibuat jelas patut dibuat secara jelas dalam bentuk peta desa pakraman. Desa atau wilayah tertentu yang sulit dibuat batasnya secara jelas dalam bentuk peta desa pekraman, agar tidak dipaksakan. Peta Desa Pekraman dibuat berdasarkan semangat ”Pasuwitran Nyatur Desa” sesuai prinsip bertetangga yang baik. Bagi desa yang tidak atau belum memungkinkan dibuatkan batas desa secara jelas dalam bentuk peta desa pakraman agar tetap dibiarkan berjalan seperti yang selama ini telah berjalan. Namun dibuatkan dengan pangeling-eling (kesepakatan bersama). ”Kalau kami baca hasil pesamuhan agung MUDP ini artinya semangatnya pasuwitran nyatur desa sebenarnya, jadi bertetangga yang baik,’’ ucapnya.
Dia menyatakan desa adat tidak boleh menentukan sendiri batas wilayah. Siapa yang diajak bertetangga itu yang diajak bicara dulu. Mari sama-sama lakukan pembinaan, pihaknya dengan majelis desa adat juga akan memberi pembinaan, menyadarkan bahwa desa adat harus bersama-sama pemerintahan bersinergi, berkolaborasi membangun. ”Pada prinsipnya tujuannya sama mensejahterakan krama desa adat, mensejahterakan rakyatnya,” terangnya, seraya menambahkan masalah tapal batas ini akan memfasilitasi dengan mengundang majelis dan pihak desa adat, pihak terkait lainnya.